Tragedy Maracanazo Awalnya Kelahiran Budaya Sepak Bola Brasil – Dimulai dari tragedi “Maracanazo”, sepak bola sebagai kelahiran budaya di Brasil. Tragedi kekalahan tim nasional Brasil di tangan Uruguay di final Piala Dunia 1950 di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, adalah cambuk yang memaksakan Brasil untuk membuktikan kekuatan mereka sebenarnya di sepak bola dunia.
Tragedy Maracanazo Awalnya Kelahiran Budaya Sepak Bola Brasil
“Sebelum Maracanazo, sepak bola telah menjadi olahraga populer. Setelah Maracanazo, sepak bola menjadi hobi tak terkendali. Maka menjadi tugas pembuktian, menjadi misi bersama,” katanya Mario Vitor Rodrigues, penulis di Rio dan pengamat sepak bola Brasil, Rabu (11/6).
Prestasi Brasil pada Piala Dunia berikutnya membuktikan sebesar apa jerih payah mereka berbuah manis berarti. Setelah kalah di perempat final Piala Dunia 1954 Swiss, Brasil menjuara dua kali pertandingan selanjutnya, Swedia 1958 dan Cili 1962.
Dipasangi satu kegagalan di Inggris 1966, Brasil terus muncul sebagai juara di Meksiko 1970.
Rodrigues tambah, tiga gelaran juara dunia dalam lima turnamen antara tahun 1954 hingga tahun 1970 sebagai bukti luar biasa kesenangan Brasil yang berakhir dengan pencapaian dunia. Dan kesenangan tersebut masih ada saat ini. “Lebih jauh lagi, sekarang sudah menjelma sebagai ‘agama’ di Brasil,” katanya.
Jadi demikian, Brasil adalah satu-satunya negara yang telah menjadi juara dunia sebanyak lima kali. Tim “Samba” —nama julukan tim nasional Brasil— juga menjadi terbaik pada pesta sepak bola Amerika Serikat 1994 dan Korea Selatan-Jepang 2002.
New agama called sepak bola emerged and continued to pulsate in Brasil, one of them in Rio de Janeiro. “Here do not ask when people play ball. All day. Morning, noon, afternoon, and night there is always someone playing ball,” says Jorge Kreye Teixeira, a Rio local in charge of a tour business.
Baca Juga : Daftar Brasil Players WCQ Maret 2025
Copacabana Beach, one of Rio de Janeiro’s famous beaches
Brasil khas lapangan sepak bola salah satu di Pantai Copacabana. Puluhan lapangan sepak bola pantai ada di situ. Lapangan yang memungkinkan siapa saja untuk mengekploitasi lapangan itu sebagai medan tempaan sepak bola. Anak-anak, pria dewasa, hingga kaum perempuaan terbiasa bermain di situ. Tentu saja tanpa alas kaki. Bahkan ketika hari mulai gelap pun, masih banyak pria dewasa dan anak-anak bermain bola di Copacabana.
Bagaimana Bolanya? Pastinya seadanya saja. Namun, jangan terlewatkan, beberapa di antaranya pernah latihan dengan kualitas olah bola prima.
Rodrigues mengatakan, banyak pemain Brasil nasional direbus dalam lapang pantai seperi di Copacabana.
Baca Juga : Arsenal Siap Hadapi Challenge Fulham di Pekan 30 Liga Inggris
“Sejumlah pemain Brasil Piala Dunia 1982, antaranya Socrates dan Falcao, dahulu sering melakukan latihan di pantai,” kata dia.
Jangan pantai aja, padang sepak bol di Rio de Janeiro sejenis berserabutan di sekitar beberapa sudut kota.
Selain dimainkan, sepak bola juga tidak berhenti dibicarakan. Bincangannya mengenai sepak bole berlangsung di kafe-kafe, mungkin juga di rumah warga di kalangan tetangga. “Orang selalu membahas sepak bola, soal siapa tim pujaan mereka, bagaimana pertandingan semalam. Semua diobrolkan,” kata Eduardo Branco, direktur sebuah perusahaan penyiaran di Brasil.
Tidak heran, ayah juga menjadi pilihan akan klub favorit anaknya. Mulai sejak anaknya baru lahir, di ruang bersalin, si ayah selalu memasang bendera dan atributnya di dalam ruangan. Itu seperti penahbisan.
Dalam konteks prestasi timnas, budaya sepak bola Brasil juga terefleksikan melalui ambisi mereka akan kemenangan. Ketika tim nasional Brasil kalah, itu menjadi sebuah peristiwa memalukan. “Meski tim lawan bermain lebih bagus ketimbang tim Brasil, kekalahan tetap memalukan,” tambah Rodrigues.
Begitulah Brasil memperlakukan sepak bola. Sepak bola bukan cuma olahraga terpopuler. Ia juga hadir sebagai budaya, bahkan agama.
Budaya sepak bola Brasil, yang semua bermula dari tragedi “Maracanazo”, 64 tahun silam.