Sepak Bola Brasil dan Piala Dunia

Sepak Bola Brasil dan Piala Dunia –  “Semua sudah berakhir. Brasil telah menyandang gelar Piala Dunia pertamanya, sebuah patung wanita setinggi 30 sentimeter yang dipersembahkan pada tahun 1930, kini menjadi trofi paling diimpikan dalam olahraga internasional terbesar di dunia. Brasil bergema dalam kegembiraan,” tulis John Mulliken dalam sebuah artikel di Sports Illustrated tahun 1958.

Sepak Bola Brasil dan Piala Dunia

Sepak Bola Brasil dan Piala Dunia

oragoo – Ketika Jenderal Charles de Gaulle mengisyaratkan pada tahun 1963, “Brazil, ce n’est pas un pays sérieux” (Brasil, itu bukan negara yang serius), ia mencerminkan persepsi umum di kalangan bangsa asing terkait status Brasil sebagai negara yang masih dalam fase pertumbuhan. Namun, seperti banyak pengamat lainnya, pemimpin Prancis tersebut mengabaikan satu fakta penting: pada tahun 1963, Brasil sangat serius tentang sepak bola.

Sejak tahun 1938, ketika tim nasionalnya pertama kali menjadikan jejak di panggung dunia, hingga dekade 1970-an, Brasil mengalami masa keemasan dalam olahraga ini. Puncak kesuksesan tim nasional terjadi pada Piala Dunia FIFA 1970 di Meksiko, di mana Brasil menjadi satu-satunya negara yang berhasil meraih trofi tersebut sebanyak tiga kali. Dengan segala prestasi yang diraihnya dari tahun 1930-an sampai 1970-an, sepak bola telah menjadi fondasi identitas nasional Brasil. Gaya bermain yang penuh keahlian dan kreativitas menciptakan citra Brasil yang berlawanan dengan anggapan umum bahwa negara ini terbelakang. Namun, citra positif yang dibangun lewat kekuatan sepak bolanya tetap berhadapan dengan kontradiksi yang menghambat reputasi serta perkembangan bangsa ini. Analisis dan liputan luar negeri sering kali menggambarkan sepak bola Brasil sebagai gambaran kekurangan—seakan-akan aset berharga ini masih terbentur pada tahap perkembangan yang belum matang.

# Kebangkitan Sepak Bola Brasil

Ketika sepak bola pertama kali diperkenalkan di Brasil pada tahun 1894, olahraga yang berasal dari Inggris ini merupakan permainan yang elit. Awalnya, sepak bola hanya dimainkan di klub-klub amatir swasta yang terletak di daerah perkotaan, dengan mayoritas pemainnya berasal dari kalangan Eropa. Namun, seiring waktu, ketika permainan ini mulai menyebar ke daerah pinggiran yang dihuni rakyat dari latar belakang kelas bawah, budaya pelada—permainan informal—mulai berkembang.

Sejumlah anak muda Brasil yang miskin dan berkulit hitam memainkan pertandingan spontan di pantai dan lapangan terbuka. Terobosan signifikan terjadi pada tahun 1923 ketika Klub Vasco de Gama di Rio de Janeiro, yang didirikan oleh para bankir Portugis kaya pada tahun 1898, mengizinkan orang-orang kulit hitam dan mulatto yang kurang beruntung untuk bergabung, lalu berhasil merebut juara kota pada tahun itu.

Piala Dunia yang diadakan setiap empat tahun menjadi wadah bagi Brasil untuk menunjukkan dominasinya. “Permainan yang indah,” istilah yang dipakai oleh orang Inggris, menyoroti keterampilan unik yang ditunjukkan lewat teknik menggiring bola dan gerakan natural yang ritmis dan improvisatif, menjadi aset nasional. Brasil juga menjadi tuan rumah Piala Dunia 1950 di Maracanã, stadion terbesar di dunia pada saat itu.

Piala Dunia 1958 menjadi pengalaman kolektif yang mengubah kebanggaan nasional Brasil. Seorang wartawan Brasil mencatat di surat kabar Ultima Hora perasaan baru yang lahir: Brasil tidak lagi merasa inferior terhadap negara-negara lain dalam kompetisi, berkat tidak hanya cara tim bermain, tetapi juga perilaku para pemainnya yang menunjukkan semangat dan karakter yang membanggakan.
Di Brasil, saat-saat seperti ini mengundang keinginan mendalam dalam diri kita untuk duduk di pinggir jalan dan menangis. Setiap pria dewasa pun seakan kehilangan rasa malu untuk meratapi kebahagiaannya sendiri. Terasa layak jika kita tidak kering di tengah rasa haus yang mendera, seperti keran kering di Zona Sul. Dan sekarang, dengan kedatangan tim abadi, air mata kembali mengalir. Kita dengan tulus mengakui bahwa “goresan” ini—istilah penuh kasih bagi tim nasional Brasil—sangat pantas untuknya. Layak untuk semua hal: bukan hanya untuk sepak bola yang merupakan tontonan terindah bagi mata manusia, tetapi juga untuk tingkat disiplin yang luar biasa. Hingga kejuaraan ini, pandangan terhadap orang Brasil seringkali dianggap kasar, seolah lahir dan dibesarkan tanpa adab. Saat mendengar bahasa Inggris, hati ini dipenuhi rasa iri, terpesona oleh kesopanan dan keanggunan para pria Inggris yang kita bayangkan. Namun, dalam kejuaraan ini, menjadi jelas bahwa gambaran tersebut ternyata tidak sesuai. Yang muncul di Piala Dunia hanyalah orang Brasil. Karena semua alasan tersebut, mari kita tidak merasa malu… mari kita duduk di pinggir jalan dan menangis. Karena menjadi orang Brasil adalah sebuah kebahagiaan, teman-teman (Rodrigues, 62)!

 

Baca Juga : Perusahaan Terbesar dan Terbaik di Jepang 

 

Sepak Bola sebagai Ekspor

Meskipun sepak bola telah membantu mengangkat Brasil pada paruh kedua abad kedua puluh, liputan dari Amerika Serikat dan negara-negara lain mengenai olahraga ini sering mencerminkan pola historis dalam penggambaran budaya, ekonomi, dan politik Brasil. Sepak bola dianggap sebagai salah satu sumber daya alam negara ini: seperti sumber daya lainnya, kekuatan sepak bola memiliki potensi untuk memberdayakan bangsa, tetapi ketika dieksploitasi, sepak bola justru berperan menjaga Brasil dalam cengkeraman kekuatan luar, sama halnya dengan kayu, kopi, dan gula yang pernah dieksploitasi dalam sejarah negara ini. Seiring meningkatnya popularitas sepak bola di Brasil, bisnis asing dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat memanfaatkan potensi olahraga ini seperti mereka memanfaatkan sumber daya alam Brasil. Ironisnya, sama seperti sumber daya tersebut, kekuatan luar terus-menerus menguras dan merusak keaslian sepak bola Brasil.

Kemunduran Permainan

Sepak bola Brasil tidak hanya dipandang sebagai sumber daya oleh media asing, tetapi semakin banyak pihak yang berusaha mengomersialkan dan mengeksploitasi kekayaan olahraga ini, terutama setelah Piala Dunia 1958. “Brasil adalah pengekspor gula, kopi, dan pemain sepak bola terbesar di dunia,” tulis Alex Bellos dalam analisisnya tahun 2002 mengenai sejarah permainan ini, *Futebol: The Brazilian Way of Life*. “Saya mulai memandang negara ini sebagai perkebunan besar, di mana hasil pertaniannya adalah ‘futebol. ‘ Negara ini menjadi monokultur olahraga, dan sepak bola mencerminkan hierarki yang telah ada sejak lama. ”

 

Baca Juga : Achievements of the Brazil National Football Team 

 

Dalam upaya untuk mengeruk kekayaan dari sepak bola Brasil, para pemain menjadi yang paling awal berpindah. Tim dari Amerika dan Eropa mulai mengincar bakat-bakat terbaik Brasil, menjadikan mereka sebagai komoditas ekspor. Setiap kali bintang baru muncul, ia sering kali dijual ke tim di Eropa atau Amerika Serikat. Salah satu contohnya yang paling terkenal adalah Pelé, yang menandatangani kontrak senilai $4,7 juta untuk bermain bagi New York Cosmos pada tahun 1975, tak lama setelah memimpin tim nasionalnya meraih kemenangan di Piala Dunia 1970.

Pelé

Gaya permainan Pelé yang unik bertentangan dengan pandangan umum di kalangan masyarakat internasional yang menganggap sepak bola Brasil sebagai sesuatu yang terbelakang. Namun, keunikan tersebut justru menjadi faktor krusial bagi kemenangan tim Brasil pada Piala Dunia 1958 dan mendorongnya meraih ketenaran yang luar biasa. Sumber dari Arsip Negara Bagian São Paulo.

Sebagai salah satu pemain Brasil yang paling ikonik sepanjang sejarah, Pelé merepresentasikan perjalanan sepak bola Brasil itu sendiri. Terlahir dan dibesarkan di jalanan favela São Paulo, ia baru berusia 17 tahun ketika tampil di Piala Dunia 1958. Gerakan tumit belakang dan tendangan sepeda yang terkenal menjadi simbol ketidakkonvensionalan dan dianggap tidak sesuai pada masanya. Nama Pelé pun menguatkan citra ini, dengan Bellos menyatakan, “Kesederhanaan dan kekanak-kanakannya mencerminkan kemurnian kejeniusannya. ”

Pada tahun 1975, di Hunt Room, 21 Club di Manhattan, Pelé menandatangani kontrak bernilai jutaan dolar dengan Warner Communications, Inc. untuk bergabung dengan New York Cosmos. Dia tidak hanya menjadi seorang pemain, tetapi juga sebuah merek, simbol global yang menjadi salah satu nama paling dikenal di Eropa pada tahun 1970-an, setelah Coca-Cola. Kisah hidupnya adalah kisah klasik tentang seorang anak miskin yang meraih kekayaan, namun juga menggambarkan bagaimana globalisasi dan komersialisasi mengubah narasi inspiratif ini menjadi sesuatu yang lebih kompleks.

Dalam konteks sejarah Brasil, negara-negara maju seringkali melihat Brasil sebagai versi muda dari diri mereka sendiri, dengan asumsi bahwa Brasil seharusnya mengikuti model kemajuan dan pembangunan yang mereka terapkan. Meski sepak bola awalnya diperkenalkan dari Inggris, dengan cepat ia mengalami transformasi menjadi sesuatu yang bersifat khas Brasil. Kualitas yang terbuka dan improvisasional itulah yang membawa Brasil meraih kesuksesan gemilang di lapangan. Namun, seiring dengan kemenangan tersebut, pengaruh negara maju dan bisnis luar semakin besar, berupaya mengeksploitasi “sumber daya alam” sepak bola, hingga melemahkan esensinya.

Zaman keemasan sepak bola Brasil kini telah berlalu, dan permainan yang dulu berprestasi itu menghadapi tantangan besar untuk memenuhi ekspektasi yang tinggi. “Mimpi itu telah berakhir, dan sangat disayangkan, karena itu adalah mimpi yang indah,” tulis artikel New York Times setelah Brasil mengalami kekalahan di Piala Dunia 1982. Namun, meskipun perjalanan Brasil dari tahun 1950 hingga 1970 telah usai, keberhasilan tersebut dan pengakuan internasional yang diperolehnya tetap tidak akan pernah dilupakan. Hal ini menjadi sumber kebanggaan nasional, menampilkan kemampuannya meraih prestasi dengan cara sendiri.